Seorang musafir yang cerdas, ia pasti memiliki tujuan di setiap perjalanan yang ditempuhnya.
Tidak akan asal menjejak, dan setiap sampai di suatu tempat selalu berharap bisa menebar manfaat meski waktu yang dimilikinya singkat. Dengan pemahaman seperti itu, maka ia tidak akan berlama lama terduduk diam dengan dalih istirahat
Musafir memiliki tempat kembali yang abadi, dipenuhi dengan orang-orang yang harum sepak terjangnya dalam menjalani apa yang diperintahkan Illahi. Hatinya terpaut pada mereka, sehingga ketika saat ini ia berleha-leha dalam perjalanannya, itu hanya membuat perjumpaan akan menjadi semakin lama.
Musafir memiliki Rabb yang dicintainya dan berharap dapat bertatap muka. Ia percaya ada peristirahatan yang menenangkan menunggunya setelah semua jibaku ini ia hadapi. Dan ia percaya bahwa apa apa yang dilakoninya di tempat asing ini ialah batu loncatan menuju tempat peristirahatan yang tinggi itu.
Sehingga segala lelah dan jerih yang ditemui dalam perjalanannya, ia kubur dalam-dalam. Satu dua ditangisi sejenak lalu bangkit kembali dengan tekad yang menguat.
Imam Ahmad pernah ditanya oleh salah satu muridnya : “Wahai guruku, sampai kapan kita melakukan seluruh amal sholeh ini?”. Beliau menjawab : “Sampai salah satu kaki kita menapaki surganya Allah SWT.”
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku, lalu bersabda,
“Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir dan persiapkan dirimu termasuk orang yang akan menjadi penghuni kubur (pasti akan mati)”
Selamat melanjutkan perjuangan pada dunia yang asing ini. Percepat langkah, perbanyak bekal, perkuat peganganmu dengan orang-orang shalih/ah, juga pererat interaksi dengan Kitabullah.